Ini jalan menuju Semedo. Desa leluhur saya. Dari jalan raya sekitar 4 km, naiiiiiiiik. Sekitar 30 tahun yang lalu, jalan ini belum beraspal. Belum berlampu. Kanan kiri ber pohon menjulang tempat sembunyi babi hutan.
Tulus kecil kala itu kelas 5 SD. Bertiga jalan kaki menuju ke kecamatan melewati jalan curam ini. Saya, Krisdiantoro, dan Kamisem. Lomba cerdas cermat P4 tingkat kecamatan. Ketiga bocah ini jam 06.00an sudah cengengesan di jalan ini. Lari larian. Bercandaan. Tetiba…….
Ya Allah…ya Allah…ya Allah…. tulung tulung tulung….
Kamisem keblandrang. Tak bisa mengontrol jalannya. Saya dan Kris cuma diam seribu bahasa melihat Kamisem meluncur sangat cepat ke bawah. Sepersekian menit kami berdua baru sadar oleh tangisan Kamisem yang meraung raung dengan tangan kaki dan muka berdarah dan serqgam merah putihnya yang robek. Rupanya Kamisem tidak bisa jaga keseimbangan larinya, kmd tersandung dan tersangkutan ditumpukan pecahan batu di bawah sana……
Sepi. Gak ada orang lewat. Yang ada hanya tangisan Kamisem. Saya dan Kris bingung. Segera mengangkat Kamisem dari tumpukan batu batu. Memapah kamisem ke bahu jalan. Huft. Hari masih pagi berkabut.
Akhirnya dengan terpincang pincang Kamisem melanjutkan perjuangannya. Sambil terus menangis, menyusuri jalan yang licin menurun ini. Tetiba di kecamatan, kami segera mencari pak Guru. Dan Kamisem pun di pinjaminya baju merah putih entah milik siapa.
Pada akhirnyq Regu kami kalah. Saya, Kris, dan Kamisem memang tidak membawa pulang piala. Tapi kami menjadi pemenang di hatinya Kamisem eh menjadi pemenang di hati Pancasula. Garudaaaa di dada kami..
Btw
Krisdiantoro kamu di mana
Kamisem kamu di mana
Masih hafal butir butir P4 Pancasila dan GBHN ?