Pernah melihat penampilan perawat di rumah sakit yang cantik-cantik? Rambut di cepol sedikit ke atas, dipasang kap khas profesi perawat ataupun perawat muslim berhijab sederhana tapi elegan? Dokter ber jas putih tampak gagah memberikan pelayanan kepada para pasien?
Para petugas rumah sakit bersliweran dengan performance yang menawan dengan pakaian lengkap plus make up wajah minimalis dari para petugas wanitanya? Sementara petugas yang laki-laki tidak kalah rapih dan menawan? Tapi, mungkin ada juga yang melihat sebaliknya, jauh dari kesan prima.
Dalam konsep pelayanan prima, uniform menjadi salah satu unsur yang harus di atur oleh instansi. Selain mendukung performance kinerja, busana kerja dapat menjadi simbol instansi yang pada sisi marketing bisa menjadi corporate branding. Secara personal, busana kerja menjadi tanda kesiapan memberikan pelayanan kepada pelanggan.
Di rumah sakit, busana kerja memiliki arti yang lebih dari sekedar penampilan semata. Dengan uniform yang dikenakan, pasien dan keluarga bisa dengan mudah mengenali petugas rumah sakit. Jika petugas rumah sakit tidak menggunakan busana kerja yang mudah dikenali, maka akan semakin menyulitkan proses pelayanan dan membingungkan pasien dan keluarga .
Ditilik dari sisi keamanan, rumah sakit sebagai instansi pelayanan publik rawan untuk dimasuki oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Kasus pencurian atau kejahatan lainnya terhadap pasien dan keluarga, sering dipicu karena pasien dan keluarga tidak mengenali dengan baik petugas rumah sakit.
Bahkan dalam manajemen risiko, risiko penculikan bayi, akan semakin rendah saat RS memiliki aturan yang jelas tentang pakaian kerja.
Artinya, selain menjawab kebutuhan performance staf yang menarik, busana kerja sangat strategis diatur di rumah sakit.
Perlu garis bawah di sini bahwa disamping uniform sesuai profesi, juga penting ada tanda pengenal karyawan yang umum dikenakan, seperti name tage dan ID card. Tanda pengenal ini atribut penting karena sulit ditiru oleh orang luar rumah sakit. Ada kasus orang luar berhasil menyusup ke area khusus rumah sakit karena menyaru mengenakan seragam petugas rumah sakit. Tapi bila ada tanda pengenal yang mudah dikenali maka penyusupan ini akan sulit terjadi.
Selain sebagai penanda, pengadaan busana kerja rumah sakit harus menjadi bagian dari sarana terapeutik, yakni memfasilitasi proses kesembuhan. Saat ini, dibanyak rumah sakit sudah mengadopsi konsep ini. Seperti di pelayanan anak, sering dijumpai pakaian kerja para perawat menggunakan karakter kartun lengkap dengan atributnya.
Pembeda lainnya, di rumah sakit para staf klinis tidak boleh mengenakan asesoris khususnya pada tangan. Penggunaan cincin, gelang, atau asesoris lainnya pada tangan tidak disarankan untuk mengurangi paparan infeksi.
Jika di instansi lain, sepatu cukup dengan aturan warna atau tinggi heals untuk yang wanita, namun dirumah sakit para petugas kesehatan wajib mengenakan sepatu tertutup dan berbahan yang tidak mudah tembus jarum atau benda tajam. Sistem di rumah sakit harus mengatur dengan lengkap dan jelas tentang pakaian dinas dan atribut-atribut dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Lingkungan rumah sakit yang infeksius mengharuskan staf klinis untuk mengenakan alat pelindung diri. Masuk area pelayanan ini petugas rumah sakit harus mengenakan alat pelindung diri yang mengharuskan petugas memakai masker. Bahkan pada kasus tertentu mengenakan baju khusus dan berkacamata.
Kewajiban mengenakan uniform khusus tersebut di atas tentu saja tidak mengurangi prinsip-prinsip pelayanan prima. Adanya pelindung alat pelindung diri justru merupakan bagian dari pelayanan prima rumah sakit. Karena standar pelayanan di tempat khusus memang harus mengenakan masker, misalnya, bertujuan untuk mengurangi resiko penularan.
Menjadi jelas disini bahwa, uniform staf rumah sakit harus diatur dengan baik oleh rumah sakit. Tidak sebatas untuk kepentingan customer dan penampilan semata, tapi juga menjawab standar perumahsakitan. (*)
*) Trainer & Motivator, Tinggal Di Purwokerto, www.tulussetiono.com
.